-->

Dampak Pemikiran Pembaruan di Indonesia

Gerakan pembaruan di negara-negara timur tengah tidak hanya tersebar di lingkungan mereka sendiri, namun juga meluas hingga ke Nusantara. Pengaruh-pengaruhnya antara lain sebagai berikut: 

1. Gerakan Paderi 

Gerakan pembaruan yang dilakukan oleh Al-Afghani dan Muhammad bin Abdul Wahab sampai juga ke Indonesia terutama terhadap tokoh-tokoh seperti H. Miskin (Kab. Agam, Sumbar), H. Abdul Rahman (Kab. Lima Puluh Kota, Sumbar), H. Salman Faris (Kab. Tanah Datar, Sumbar). Mereka dikenal dengan nama H. Miskin, H. Piobang dan H. Sumanik. Sepulang dari tanah suci mereka terilhami oleh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab. Mereka pulang dari tanah suci pada tahun 1803 M dan sebagai pengaruh pemikiran para pembaru Timur Tengah tersebut adalah timbulnya gerakan Paderi. Gerakan tersebut bermaksud ingin membersihkan ajaran Islam yang telah bercampur baur dengan perbuatan-perbuatan yang bukan Islam. Hal ini menimbulkan pertentangan antar golongan adat dan golongan Paderi. 

2. Munculnya Organisasi Modern 

Munculnya berbagai organisasi dan kelembagaan Islam modern di Indonesia pada abad ke-20, baik yang bersifat keagamaan, politik maupun ekonomi. Beberapa Organisasi tersebut adalah: Jami'atul Khair (1905 M), Muhammadiyah (18 November 1912), Al-Irsyad (1914 M), Persatuan Islam (1923 M), Serikat Dagang Islam (1911 M), Nahdlatul Ulama/NU (13 Januari 1926 M), Matla'ul Anwar (1905 M), Pergerakan Tarbiyah/PERTI (1928 M), Persatuan Muslim Indonesia/PERMI (22 Mei 1930 M), dan Majelis Islam Ala Indonesia (1937 M).

3. Jami'atul Khair 

Pada tahun 1901 M, beberapa tokoh dari para ulama asal Arab dan para pemuda Alawiyin berinisiatif mendirikan sebuah organisasi modern pertama di Indonesia yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan berdasarkan Islam. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyaingi politik pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda yang hanya diperuntukan bagi anak anak pejabat pemerintah serta mereka yang bersimpati terhadap pemerintah kolonial Belanda. 

Organisasi ini merupakan organisasi pendidikan tertua di Jakarta yang terbuka untuk setiap muslim. Para pendirinya antara lain Sayyid Muhammad Al-Fakir bin Abdurrahman Al-Mansyur, Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bin Syihab, Sayid Idrus bin Ahmad bin Syihab, Abu Bakar bin Muhammad Al-Habsyi, dan Syechan bin Ahmad Syahab. Di tangan ulama-ulama inilah Jami'atul Khair berkembang pesat. Bidang kegiatan organisasi ini meliputi; Pertama, pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar. Kedua, pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan pelajaran. Tampilnya Jami'atul Khair sebagai organisasi keagamaan yang berorientasi pada pembaruan pendidikan Islam terasa sangat penting karena organisasi ini merupakan organisasi modern di masyarakat. Kemodernan organisasi ini terlihat dalam mata pelajaran yang diajarkan bersifat umum, keseluruhan kegiatannya didasarkan pada sistem Barat. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu. 

Sebenarnya pada tahun 1901, Jami'atul Khair belum mendapat izin dari pemerintah Belanda karena dianggap merugikan kepentingan pihak Belanda. Hingga akhirnya pada tanggal 17 Juli 1905, organisasi ini mendapat pengakuan dari pemerintah Belanda, dengan catatan tidak diperbolehkan mendirikan cabang-cabang lain di luar Jakarta. Salah satu tujuan dari organisasi ini adalah mengembangkan pendidikan agama Islam dan bahasa Arab. Karena sekolah-sekolah ini kekurangan tenaga pengajar, maka didatangkan tenaga pengajar agama dan bahasa Arab dari luar (dan Jawa pada umumnya) serta daerah sekitarnya, seperti H. Muhammad Mansur dari Padang. Selain itu, sekolah ini juga mendirikan perpustakaan dengan mendatangkan berbagai majalah dan harian dari Timur Tengah (Kairo, Istambul dan Beirut). 

4. Muhammadiyah 

Ahmad Dahlan
Muhammadiyah sering disebut sebagai gerakan pembaruan sosial-keagamaan (sosio-religius). Hal ini karena Muhammadiyah telah berperan dalam perubahan kehidupan sosial keagamaan di Indonesia sejak awal berdirinya. Muhammadiyah berdiri pada tanggal 18 November 1912 M, bertepatan dengan tanggal 18 Dzulhijjah 1330 H. Perintis berdirinya Muhammadiyah adalah KH. Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar bin Kyai Sulaiman, seorang khatib di masjid besar kesultanan Yogyakarta. Ibunya bernama Siti Aminah, putri KH. Ibrahim, penghulu Kesultanan Yogyakarta. 

Pada mulanya, Muhammadiyah hanya sebuah kelompok kecil yang mempunyai misi bertentangan dengan kebiasaan penduduk bumiputra yang masih bersifat tradisional dalam praktik kegamaannya. Bagi kaum reformis-modernis, perubahan tidak terbatas pada persoalan-persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam prakteknya, Muhammdiyah menekankan Pentingnya kesalehan hidup yang didasarkan pada berbagai kewajiban yang dinyatakan di dalam Al-Qur'an dan hadis Nabi, tapi menolak sistem filsafat dan sistem hukum kewarisaan muslim zaman pertengahan dan otoritas para wali untuk digantikan dengan pelaksanaan ijtihad atau penalaran individu dalam berbagai urusan keagamaan. 

Perkembangan Muhammadiyah dapat dipetakan menjadi dua, yaitu perkembangan secara vertikal dan perkembangan secara horizontal. Perkembangan Muhammadiyah secara vertikal yaitu, perluasan organisasi Muhammadiyah ke seluruh penjuru tanah air yang diorganisasikan dari tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang dan ranting Muhammadiyah. Pertumbuhan ini dimulai sejak masa pemerintah Hindia Belanda yang telah memberikan izin kepada Muhammadiyah untuk berdiri di luar Yogyakarta. Perkembangan secara horizontal, yaitu perkembangan dan perluasan amal usaha organisasi Muhammadiyah yang meliputi bidang agama, pendidikan, sosial, amal usaha dan organisasi Muhammadiyah diamalkan pada setiap cabang organisasi Muhammadiyah. 

5. Nahdatul Ulama (NU) 

Nahdatul Ulama (NU) adalah organisasi yang besar di Indonesia yang berdiri di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M, mulanya hanya sebuah kepanitian yang disebut Komite Hijaz. Kalangan ulama waktu itu menetapkan KH. Hasyim Asy'ari sebagai tokoh pendiri NU sekaligus Ketua Umum. Pendiri NU yang lain adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah, lahir di Jombang pada bulan Maret 1888 M, serta KH. Bisri, lahir di Taju Jawa Tengah pada tahun 1887. Beliau belajar agama di pondok pesantren seperti Tebu Ireng, Bangkalan Madura dan belajar di Mekah.

Hasyim Asyari
Dalam bidang fiqih, NU menganut empat imam mazhab, walau dalam prakteknya mengikuti mazhab imam Syafi'i. Dalam bidang kalam menganut juga paham Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebuah pola pikir yang merupakan jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an dan As-Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empiris. Cara berpikir seperti itu merujuk pada pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang teologi. 

Tujuan organisasi NU ini adalah menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu terdapat usaha organisasi yang dilakukan, yaitu: 

  • Bidang agama, melaksanakan dakwah islamiah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dan persaudaraan. 
  • Bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur dan berpengetahuan luas. 
  • Bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan. 
  • Bidang ekonemi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan dengan berkembangnya ekonomi mengutamakan rakyat. 
  • Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyarakat. 

Sementara itu, hampir pada waktu yang bersamaan, pemerintah penjajah menjalankan politik etis, politik balas budi. Belanda mendirikan sekolah-sekolah formal bagi bumiputra, terutama dari kalangan priyayi dan kaum bangsawan. Pendidikan Belanda tersebut membuka mata kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan mereka akan kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan masyarakat Indonesia, pada saatnya mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial, seperti Budi Utomo, Taman Siswa, Jong Java, Jong Sumatera Bond, Jong Ambon, Jong Selebes, dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam dan organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar di atas, menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern.

0 Response to "Dampak Pemikiran Pembaruan di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Artikel Terkait